Jose Rizal Manua, Mencegah Kenakalan Remaja Melalui Seni Teater

(sumber foto: google.com)
Senin sore ketika teriknya matahari beralih menjadi teduh, kaki terus melangkah di pusat kesenian daerah Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki. Hari itu saya berencana untuk bertemu sosok inspiratif yang telah menekuni bidang kesenian di Indonesia sejak lama, ia juga seorang pengajar seni di salah satu Perguruan tinggi kesenian di Jakarta. Ia adalah Jose Rizal Manua, seorang sutradara, pengajar, suami, ayah dan kakek bagi keluarga dan murid-muridnya.

Lahir di Padang, 14 September 1954, ia mengawali profesinya dibidang kesenian pada tahun 1975 dengan melatih anak-anak berteater. Kemudian, ia mendirikan teaternya sendiri pada 14 September 1988 bernama “Teater Tanah Air”. Disela rutinitasnya sebagai pengajar, ia menjelaskan kepada saya alasan teater tersebut dibentuk. Ia mengatakan bahwa teater tersebut dibentuk dari pengalaman ia berteater, khususnya untuk teater anak-anak karena teater untuk anak-anak dulu belum banyak di Jakarta, oleh karena itu ia mendirikan teater tersebut.

Sebelum teater Tanah Air terbentuk, ia juga menjelaskan pernah mendirikan teater bersama dengan nama “Adinda”  tahun 1975, lalu teater tersebut mengikuti festival untuk anak-anak di Jakarta pada tahun 1971, 1979, 1980, dan 1981 dan selama empat tahun berturut-turut  sebagai juara bertahan, hingga akhirnya dilarang untuk ikut lagi.  Lalu, teater tersebut bubar dikarenakan terjadinya gangguan. Kemudian ia merintis teater yang sekarang ini (Tanah Air).  Teater ini pernah juara di Jepang tahun 2004, juara dunia di Jerman tahun 2006, 2008 di Russia. Lalu diundang di markas PBB UNICEF di Swiss, Malaysia, Singapore, dan Maroko. Ada pula penghargaan dari Gubernur dan Presiden.

Hal yang membuat saya semakin kagum setelah mendengar cerita beliau adalah ketika ia memberikan alasan dan tujuan dari Teater yang telah ia bentuk. Ternyata bukan soal untuk menyalurkan bakat anak-anak dibidang seni peran, namun lebih dari itu.

“Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak agar mereka mampu mengaktualisasikan diri, mampu membangun kepercayaaan diri, mampu mengeskspresikan diri,” jelasnya.

Ia juga melanjutkan dengan teater yang dibangun, ia ingin anak-anak berlatih bersosialisasi dengan baik, “mereka dilatih untuk bergaul, bekerjasama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, kemudian ia mampu mengungkapkan apa yang difikirkannya. Dan ini sangat bermanfaat untuk disekolah juga. Jika anak mampu bercerita di depan kelas sebenarnya itu bagus, mampu menceritakan apa yang ia rekam dari pelajaran. Nah, jadi teater ini sebetulnya sangat bermanfaat untuk menimbulkan kepercayaan diri dalam diri anak-anak, kemudian membuat anak-anak mampu mengemukakan fikirannya, menghafal dengan cepat, dan lain-lain.”

Ditengah perbincangan, saya sempat menyinggung soal kenalakan anak-anak, khususnya remaja seperti bullying, hate speech, tauran  dan bagaimana tekniknya meminimalisir perilaku negatif remaja melalui teater versi beliau. Dengan senyumnya yang khas, sambil membelai kucing yang berada di pangkuanya ia berpendapat bahwa dengan mengikuti teater, anak-anak dapat menghargai serta mengormati orang lain, sehingga perilaku seperti yang disebutkan dapat diredam. Perilaku tersebut itu terjadi karena tidak adanya rasa saling menghormati dan menghargai serta adanya kemampuan untuk bekerjasama. Dan teater bisa menjadi jembatan peredamnya, begitu juga dengan membaca karya-karya satra yang berharga kesenian serta membentuk kepercayaan diri juga.

Ketika ditanya mengenai pementasan apa yang paling berkesan baginya, pria yang berusia enam puluh empat tahun ini lalu memperkenalkan prinsipnya kepada saya bahwa pertunjukan yang terbaik adalah apa yang ia buat nanti. Jadi, apa yang akan datang itu yang terbaik karena itu ia terus bersemangat hadir untuk menggali hal baru. Karena yang terbaik untuk ia, adalah apa yang akan dibuat.

Lagi-lagi saya dibuat terkesima oleh beliau. Dibalik kesederhanaanya, ia benar-benar seseorang yang penuh dengan api semangat yang pernah saya temui. Di akhir perbincangan, ia juga berpesan bagaimana teknik mengajarkan anak-anak. Menurutnya  anak-anak senang belajar akan tetapi tidak suka bila digurui. Sebagai pengajar, ketika mengajar tidak boleh menggurui anak-anak. Biarlah bagaimana kepercayaan diri anak-anak itu tumbuh di dirinya masing-masing. Jadi, ada kekayaan yang tersimpan didalam diri anak-anak itu sendiri. Ia juga menekankan dalam teknik pengajaran yang ia selalu lakukan, ia berupaya mengeluarkan dan mengungkap kekayaan yang tersimpan dalam diri setiap anak tanpa interpensi. Sehingga anak –anak ini tumbuh dengan kepribadiannya sendiri, dan menurutnya hal itu menarik juga indah.

Dari perbincangan tersebut saya mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa keberagaman yang ada di dalam diri anak-anak adalah keindahan dari perbedaan-perbedaan ekspresi dan pengalaman hidup. Dan sebagai orang yang lebih dewasa, kita jangan menseragamkan karena anak-anak akan  mencontohkan apa yg dicontohkan bukan dari kekayaan ekspresi masing-masing. Yang benar adalah anak-anak berekspresi dengan kekayaan yang tersimpan bukan contoh-contoh.

Karena jawaban-jawaban yang ia berikan selalu menginspirasi, saya memberanikan diri untuk menanyakan pandangan hidup apa yang mmbuat ia seperti sekarang  serta pesan untuk anak muda agar selalu semangat seperti beliau. Dengan kesederhanaanya ia menjawab “Saya memiliki semboyan hidup; Merenung seperti gunung, Bergerak seperti ombak.”



Komentar

Postingan Populer